Jumat, 14 November 2008

MENGAJARI DENGAN TELADAN

Ajari aku untuk mencintai dan menyayangi diri sendiri

lewat keteladananmu yang positif.

Aku akan belajar dari semua tindakanmu

dan tumbuh dengan memiliki perhatian diri yang baik.

Ralph Waldo Emerson pernah mengatakan, "Kamu berteriak terlalu keras di telingaku, aku tidak bisa mendengar apa yang kamu katakan." Kata-kata tanpa tindakan hanya sedikit berpengaruh atau sama sekali tidak berpengaruh. Namun, ketika kata-kata didukung oleh teladan nyata, mereka punya kekuatan untuk membentuk keyakinan dan kebiasaan yang berumur panjang.

Mengucapkan, "Lakukan yang saya katakan, bukan yang saya lakukan" jarang memberi dampak. Seorang anak hampir selalu bertindak berdasarkan apa yang terlihat olehnya. Saya teringat ketika saya meminta putra saya untuk menonton televisi dalam jarak yang cukup. Tiap kali dia menonton televisi, apalagi dengan menatapkan wajahnya persis di depan layar kaca, maka saya selalu mengingatkan dan kadangkala mendisiplinnya. Suatu ketika saya menerima telepon yang letaknya di sebelah televisi yang sedang menayangkan sebuah film. Seusai menerima telepon, tak terasa saya menonton televisi terlalu dekat. Putra saya langsung berkata, "Papa dekat-dekat televisi." Spontan saja saya malu. Saya terkejut dan berkata, "Oh iya, Papa salah ya. Terima kasih ya sinyo (panggilan akrabnya)." Memang benar bahwa anak belajar banyak dari teladan, ketimbang perkataan orangtuanya. Ada satu fakta yang dicatat oleh kedua psikolog, Diana Loomans dan Julia Godoy, bahwa lebih dari 75% narapidana puya satu atau lebih anggota keluarga yang dipenjara. Saya tidak tahu survei tersebut diambil dari konteks mana, tapi fakta ini tentu memberikan indikasi tentang peran sebuah keteladanan.

Lantas, bagaimana caranya agar kita sebagai orangtua merasa lebih mudah untuk senantiasa memberikan teladan bagi anak-anak? Dengan baik Loomans dan Godoy menjelaskan bahwa cara pertama dan terpenting menjadi teladan bagi anak-anak terletak pada kasih sayang yang sehat dan konsisten dari kita sendiri. Maksudnya, kita perlu memerhatikan kondisi diri sendiri dahulu. Gambaran tentang mengenakan masker oksigen di pesawat sangat sesuai--hanya orang dewasa yang menghirup cukup oksigen terlebih dahululah yang dapat menolong anak kecil yang bergantung padanya agar bisa tetap hidup.

Orangtua kadang terperangkap dalam kebiasaan memenuhi semua kebutuhan anak sebelum memenuhi kebutuhannya sendiri, dengan keyakinan bahwa anak harus selalu didahulukan. Dalam lingkungan yang normal, sangatlah bermanfaat bagi orangtua untuk memberi perhatian yang berkualitas pada kehidupan mereka sendiri terlebih dahulu. Perhatian diri sehari-hari merupakan oksigen untuk jiwa. Atau dengan kata lain, sejumlah perhatian diri dapat membawa keseimbangan dan ketenangan yang luar biasa bagi orangtuanya.

Ada seabrek cara untuk memerhatikan diri sendiri. Ada yang melakukan meditasi pribadi. Ada yang memanjakan diri dengan pijatan. Ada yang melakukan hobi tertentu. Inilah yang salah satu saya lakukan. Hobi saya adalah bermain bulutangkis. Saya selalu meluangkan waktu untuk bermain bulutangkis setiap hari Senin. Dalam waktu itulah saya bisa melepaskan banyak ketegangan batin/stress. Setelah pulang, saya tidak langsung menyambut keluarga dengan hangat. Saya masih perlu menenangkan diri alias reorientasi, dari suasana lapangan masuk ke suasana rumah. Biasanya, untuk beberapa waktu saya menonton televisi, dan terkadang sambil menikmati french fries buatan istri. Setelah cooling down selesai, maka saya bergegas mandi dengan air hangat. Nah baru setelah itu, saya bermain bersama istri dan anak dengan perasaan yang lebih siap. Dari pengalaman ini, saya kira memang benar bahwa kita perlu memerhatikan diri dalam jumlah tertentu untuk menyehatkan suasana pikiran dan emosi. Bila suasana pikiran dan emosi telah sehat, maka tentunya kita sebagai orangtua lebih mudah memberikan keteladanan bagi anak-anak tercinta kita.

Selamat mencoba!

(Disarikan dari Loomans & Godoy, Positive Parenting, 1-13)

Tidak ada komentar: